Menengok Budaya Membaca (Buku) di Beberapa Negara

Peringkat Literasi Negara-negara
Daftar Peringkat Literasi Negara-negara di dunia

Sumber Gambar: washingtonpost.com

Buku dan negara maju adalah 2 hal yang tidak bisa dipisahkan. Di negara maju sistem perbukuannya dapat dipastikan sangat bagus. Sistem yang bagus itu pasti berdampak pada kehidupan dan budaya membaca masyarakatnya.

Sistem perbukuan sangat penting, selain untuk menghidupkan dunia penerbitan, pemberantasan buta aksara, juga untuk menumbuhkembangkan minat baca, yang muaranya adalah untuk pencerdasan dan kemajuan bangsa.

Tidak heran kalau di negara maju, masyarakatnya biasanya gemar membaca. Bahkan membaca sudah menjadi bagian dari gaya hidup dan budaya mereka.

Artikel blog dengan tema membaca ini (kembali) saya angkat karena saya sangat tergerak untuk berbagi setelah melihat semakin minimnya minat baca sebagian orang belakangan ini, termasuk juga beberapa siswa saya di sekolah.

Membaca menurut saya memang sangat penting. Namun kegiatan membaca sebaiknya memang bukan karena terpaksa, tapi karena kerelaan dan kesadaran diri yang tinggi akan arti pentingnya membaca bagi kehidupan.

Memang, adanya metode, fasilitas atau pilihan bacaan yang variatif, dan suasana (lingkungan) yang mendukung, juga sangat berkontribusi dalam menumbuhkan semangat dan budaya membaca, khususnya bagi anak-anak atau pelajar.

Selain itu, belajar dari negara lain juga dapat menumbuhkembangkan minat baca seseorang. Dan dalam postingan kali ini, saya ingin membagikan sedikit tentang budaya membaca (buku) dibeberapa negara di dunia, termasuk Indonesia.

Tujuannya adalah sebagai bahan perbandingan saja. Semoga setelah membacanya, kita mendapat informasi baru, bisa belajar dari negara lain, dan mengambil sikap positif tentang membaca, khususnya membaca buku.

Sebenarnya ada banyak negara yang penduduknya gemar membaca. Karena terbatasnya ruang dan waktu, saya sengaja hanya memilih beberapa negara saja sebagai representasi.

Berikut budaya membaca (buku) di 6 negara yang saya ulas secara singkat.

1. Budaya Membaca di Finlandia

Budaya Membaca di Finlandia
Salah satu sudut perpustakaan di Finlandia

Sumber Gambar: hipwee.com

Finlandia, salah satu negara di Eropa Utara, saya urutkan di nomor 1 karena negara ini adalah negara paling literat (terpelajar) dalam bidang literasi di seluruh dunia.

Ini menurut riset yang dilakukan oleh Jhon W. Miller, Presiden Central Connecticut State University, New Britain, dan yang secara resmi dirilis oleh The World’s Most Literate Nations (WMLN) pada 2016 lalu.

Negara ini dianggap sangat sukses dalam menumbuhkan budaya membaca bagi masyarakatnya.

Bagaimana budaya membaca di negara ini bisa sangat terbangun? Setidaknya ada 5 fakta berikut ini:

  • Selalu ada maternity package (paket perkembangan anak) dari pemerintah bagi orangtua yang baru memiliki anak – Di dalamnya terdapat beberapa keperluan bayi, juga ada buku bacaan bagi orangtuanya maupun bagi bayi tersebut.
  • Perpustakaan ada dimana-mana – Sehingga tidak ada alasan tidak ada bahan bacaan atau tidak sempat membaca. Dan di Finlandia buku bacaan untuk anak-anak diterbitkan lebih banyak dibandingkan buku lainnya.
  • Budaya membaca didorong turun-temurun Pasca jam sekolah, anak wajib belajar Bahasa Inggris dan membaca 1 buku per minggu.
  • Orang tua punya tradisi mendongeng (dari buku cerita) sebelum tidur bagi anak-anak mereka – Penting untuk menjalin keakraban dan menanamkan minat pada literasi.
  • Acara atau film berbahasa asing di layar TV tidak dialihsuarakan – Untuk memahaminya hanya diberi subtitles (teks terjemahan) agar anak rajin membaca.

2.Budaya Membaca di Amerika Serikat

Budaya Membaca di Amerika
Anak-anak AS yang akrab dengan buku

Sumber Gambar: summitacademies.org
Amerika Serikat memang negara maju, juga salah satu negara paling berpengaruh di seluruh dunia dalam segala bidang. Dalam bidang literasi pun negara ini tentu sangat unggul. Dari 61 negara yang diteliti, dengan kategori pemeringkatan negara literasi dunia, Amerika Serikat berada pada urutan ke-7.
Di negara paman Sam ini, rata-rata warganya yang berusia 18 tahun biasa menghabiskan membaca 11-20 buku dalam setahun. Luar biasa, bukan?
Apa yang menyebabkan budaya membaca di negara ini sangat maju? Beberapa jawabannya adalah:

  • Sejak kecil anak sudah diperkenalkan dengan buku.
  • Layanan toko buku yang sangat nyaman dan ramah sehingga membuat pengunjung/pembeli betah.
  • Pengunjung toko buku tidak mesti membeli buku (hal yang legal bila pengunjung sekedar ingin membaca atau menyalin).
  • Harga buku yang relatif murah/terjangkau bagi warga Amerika kebanyakan.
  • Perpustakaan yang mudah diakses, ada di setiap kota.
  • Peminjam buku di perpustakaan boleh meminjam buku sebanyak mungkin.
  • Buku-buku yang bermutu sebagai konsekuensi literasi yang maju mudah diperoleh di AS.

3. Budaya Membaca di Jepang

Budaya Membaca di Jepang
Budaya Tachiyomi di Jepang

Sumber Gambar: lantaitulisan.com

Menurut data, hampir 99 % rakyat Jepang yang berusia 15 tahun ke atas, melek huruf (aksara). Artinya literasi disana sangat baik. Ini juga mengindikasikan bahwa masyarakat Jepang sangat gemar membaca. Ya, membaca sudah mendarah daging di Jepang. Urusan membaca mereka sangat unggul.

Mari kita tengok sejenak apa yang membuat budaya membaca di Jepang sangat maju. 5 fakta berikut ini patut kita contoh:

    • Tetap membaca walau berada di transportasi umum – Hampir tidak ada waktu yang terbuang sia-sia bagi orang Jepang. Dimanapun selalu membaca.
    • Budaya Tachiyomi – Membaca gratisan di toko buku sambil berdiri. Buku-buku baru yang dipajang di rak biasanya segel plastiknya sengaja dibiarkan terbuka agar pengunjung mudah melakukan Tachiyomi.
    • Tradisi membaca 10 menit sebelum masuk kelas bagi siswa di sekolah – Diberlakukan sejak SD dengan reward dan punishment. Tradisi ini sudah berlangsung sangat lama.
    • Acara Sekiguchi di televisi – Promosi buku terbitan terbaru lewat layar TV, disertai review-nya. Penonton bisa memesan secara online melalui internet atau via telepon.
    • Toko Buku yang Menjamur – Menurut bunkanews.com, jumlah toko buku di Jepang sama banyaknya dengan jumlah toko buku di Amerika Serikat. Ini sangat luar biasa, mengingat luas wilayah dan penduduk AS jauh lebih luas dan lebih banyak dari Jepang.

    4. Budaya Membaca di Jerman

    Budaya Membaca di Jerman
    Seseorang yang sedang asyik membaca

    Sumber Gambar: gemintang.com

    Dalam pemeringkatan negara literasi dunia, Jerman berada di urutan ke-8 setelah AS. Sebagai negara maju Jerman benar-benar kokoh secara kultur. Budaya layar (screen culture) yang melanda di era digital dewasa ini tidak mengikis budaya membaca rakyatnya.

    Tentu dalam hal ini Jerman sangat patut dijadikan contoh. Eksistensinya justru mempengaruhi, bukan terpengaruh. Dan ini wajar memang, karena mesin cetak ditemukan di Jerman. Secara emosional mereka (mungkin) masih sangat terikat dengan dampak penemuan mesin cetak tersebut.

    Jadi wajar saja bila dalam urusan membaca buku, animo masyarakat Jerman cukup tinggi. Karena setidaknya sekali dalam sepekan mayoritas (lebih dari separoh) masyarakat Jerman membaca buku.

    Sebanyak 53 % orang Jerman membeli buku untuk keperluan pribadi, dan 38 % membeli buku untuk dihadiahkan kepada orang lain.

    Walau membaca buku bukan hobi nomor satu bagi orang Jerman, tapi membaca buku di Jerman lebih populer ketimbang pergi ke mall, ke bioskop atau ke tempat-tempat lain yang menghabiskan uang.

    5. Budaya Membaca di Australia

    Budaya Membaca di Australia
    PR membaca buku di sekolah Australia

    Sumber Gambar: kompasiana.com

    Minat baca masyarakat Australia juga tidak kalah dari negara-negara maju lainya. Bagaimana hal tersebut terejawantah?

    Di negeri kangguru ini, sejak anak belajar pada tahap Prep (masa persiapan sebelum SD), mereka sudah dibiasakan dan terpapar dengan kegiatan-kegiatan pembelajaran yang praktis-menyenangkan, namun memacu semangat dan budaya literasi.

    Selain itu, setiap hari saat pulang sekolah, anak diwajibkan membawa pulang 1 buah buku bacaan. Ini sebagai PR untuk setiap anak. Dalam hal ini orangtua bertugas membimbing anak-anak mereka membaca buku tersebut.

    Ada juga motto yang berbunyi “membaca bukan sekedar ABC”. Motto ini merupakan salah satu motto di sekolah untuk program Library Day, yang berlaku setiap hari Kamis. Pada hari itu anak diperbolehkan meminjam 1 buku bacaan untuk waktu seminggu ke depan. Selanjutnya, selain buku tersebut dibaca, anak ditugasi mencari kosakata baru, membuat kalimat, kemudian membuat ringkasan buku tersebut dengan bahasa sendiri.

    Semangat literasi sangat didukung dan diupayakan dalam muatan kurikulum pendidikan di Australia. Ini terbukti dari 7 fokus kurikulum pendidikan di Australia, kemampuan literasi (baca-tulis) berada di urutan pertama. Tentu ini sangat baik karena gerakan literasi yang dimulai dari generasi terdidik dapat mempengaruhi banyak pihak lainnya.

    Demikian juga bagi orang dewasa, tidak heran saat berada di transportasi umum atau di tempat umum lainnya, mereka sibuk dan asyik membaca buku, baik buku cetak maupun buku elektronik (ebook) di gadget mereka. What a great view!

    6. Budaya Membaca di Indonesia

    Budaya Membaca di Indonesia

    Gerakan Literasi Sekolah di Indonesia

    Sumber Gambar : komunita.id

    Harus diakui dengan jujur bahwa budaya literasi (baca-tulis) di Indonesia masih sangat rendah dan jauh tertinggal. Dari 61 negara yang diteliti tingkat literasinya, menempatkan Indonesia di urutan ke-60 setelah Bostwana (Peringkat kedua dari bawah).

    Menurut riset UNESCO, indeks minat baca Indonesia 0,001 %. Artinya dari 1.000 penduduk hanya 1 orang yang serius membaca. Data dari survei 3 tahunan BPS juga mencatat bahwa tingkat minat baca anak-anak Indonesia hanya 17,66 %, sementara minat menonton mencapai 91,67 %.

    Hasil survei internasional, PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2015 mengatakan bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia menduduki urutan ke-69 dari 76 negara yang disurvei.

    Suatu keadaan yang sangat tidak membanggakan memang. Tentu ini harus menjadi perhatian kita sebagai warga bangsa.

    Apa penyebab budaya membaca di negara kita sangat rendah? Ada banyak faktor. Tapi menurut pengamat sastra dan pengajar di Universitas Indonesia, Ibnu Wahyudi, ada beberapa alasan, yakni:

    • Buku masih jarang bahkan tidak pernah diperkenalkan sejak dini baik oleh orang tua maupun guru.
    • Minimnya akses terhadap buku – Perpustakaan tidak tersedia dengan baik, masih minim dan belum memadai.
    • Membeli Buku tidak masuk dalam prioritas belanja – Sebagian besar masyarakat kita tidak menjadikan membeli buku sebagai prioritas belanja, baik keluarga maupun pribadi (pada dasarnya bukan karena faktor ekonomi atau daya beli yang rendah).

    Menurut saya, penyebab lainnya adalah:

    • Lemahnya tradisi membaca di institusi pendidikan. Bagaimana bisa mempengaruhi siswa gemar membaca buku sementara gurunya sendiri malas membaca buku.
    • Minimnya teladan membaca dari figur publik.
    • Pengaruh screen culture di era digital Laptop dan gadget yang sering dipandang hanya dari fungsi instan/praktisnya saja, bahkan cenderung hanya untuk bermedsos ria, main game, nonton youtube dan sejenisnya. Padahal di gadget ada banyak fitur yang bisa digunakan untuk pengembangan literasi.

    Ini memang PR besar bagi kita. Tanpa kesatuan visi / misi, maka agaknya sulit untuk mengatasi keadaan ini. Semua pihak harus bersatu padu mengkampanyekan pentingnya budaya literasi (baca-tulis).

    Itulah sebabnya sebagai pemantik, beberapa pihak juga telah berupaya untuk mengatasi situasi ini, diantaranya adalah:

    • Gerakan Literasi Sekolah dari kemdikbud – Untuk memperkuat Program Pengembangan Budi Pekerti. Tersedia buku induk dan buku saku untuk gerakan ini. Leading sector-nya adalah dari pihak sekolah dan elemen terkait.
    • Gerakan Indonesia Membaca (GIM). Untuk mengatasi ‘generasi nol buku’ dan menumbuhkan minat baca.
    • Program Pengembangan Budi Pekerti – Tertuang dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 (salah satunya mewajibkan siswa membaca buku non pelajaran 15 menit sebelum PBM dimulai).
    • Program Duta Baca Indonesia oleh Perpustakaan Nasional RI, yang menunjuk Najwa Shihab sebagai Duta Baca Indonesia periode 2016-2021.
    • Undang-Undang Sistem Perbukuan. Masih berupa RUU, belum rampung sampai tulisan ini dirilis (sudah 6 kali dengar pendapat di DPR).
    • GPMB (Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca) – seperti GPMB di Jogja.
    • TBM (Taman Baca Masyarakat), perpustakaan desa, perpustakaan keliling di berbagai daerah.

    Dari beberapa upaya di atas, menurut pantauan saya, programnya bagus, tapi dalam tataran implementasinya di lapangan, sebagian masih bermasalah, termasuk perpustakaan desa, yang ada cuma gedungnya. Isinya terabaikan.

    Apakah ini indikasi bahwa programnya hanya formalitas atau projectoriented semata? Entahlah. Pastinya saya kurang berkapasitas menjawabnya. Tapi agaknya semuanya memang perlu dievaluasi atau ditinjau ulang, jika kita serius ingin memperbaiki keadaan.

    Kesimpulan

    Minat baca bisa ditingkatkan kalau kita sungguh-sungguh ingin berubah, dan budaya membaca di negara lain yang sudah maju juga bisa kita jadikan pelajaran berharga. Kita bisa mengadaptasi nilai positifnya.

    Minat baca yang rendah berpengaruh pada kualitas pendidikan suatu bangsa. Karena itu sebaiknya semangat membaca harus digalakkan. Seluruh elemen bangsa harus bergandengan tangan dalam mengatasinya.

    Meski fakta bahwa minat baca di negara kita masih sangat rendah, itu tidak harus melemahkan atau mengendorkan semangat kita. Mengeluh dan mengutuk bukanlah solusi. Justru keadaan yang “memprihatinkan” ini harus kita jadikan sebagai pemacu untuk mengubah keadaan agar lebih baik. Dan itu harus dimulai dari diri kita masing-masing.

    Mari membangun bangsa dengan budaya baca. Jadikan membaca, khususnya membaca buku, sebagai bagian dari keseharian kita. Karena membaca membawa banyak dampak positif.

    Semoga ulasan ini bermanfaat, dan tentu harapannya agar minat baca kitapun semakin baik serta meningkat di masa selanjutnya.

    Apabila Anda memiliki tanggapan atau masukan, mohon dapat dibagikan pada kotak komentar yang disediakan di bawah ini.

    Salam Cerdas,

    Desfortin

    49 respons untuk ‘Menengok Budaya Membaca (Buku) di Beberapa Negara

    1. Klo nurut pengalaman pribadi mas desfortin, kendala untuk tidak membaca itu karena buku berkualitas masih mahal nurut saya. Yg kedua perpustakaan sangat tidak terawat dengan baik. Pernah ke perpustakaan kecamatan dan bukunya udah jelek dan jadi malas membaca deh. Enak hidup di negara maju memang, semuanya serba murah.

      Disukai oleh 1 orang

      1. Setuju mas. Ditambah lagi krn memang membaca masih blm jadi tradisi.

        Perpustakaan yg tdk memadai juga slh satu pemicu. Yg saya heran perpustakaan desa yg sdh dibangun, seperti di desa saya, ga ada isinya, cuma bangunan doang. Miris melihatnya, bahkan skrg sekeliling bangunannya sdh ditumbuhi rumput2 liar. Pokoknya kesannya tak terurus sama sekali.

        Disukai oleh 1 orang

    2. Wah, lengkap banget artikelnya mas.

      Kalau menurut saya banyak orang Indonesia enggan membaca karena ada anggapan bahwa membaca itu bikin pusing dan hanya dilakukan oleh orang-orang pintar saja, padahal kan sebaliknya, kita jadi pintar karena banyak membaca.

      Disukai oleh 1 orang

      1. Haha…gara2 link ya?

        Ya. Itulah anggapan yg kliru dan mesti kita koreksi.
        Lemahnya tradisi membaca di sekolah turut berpengaruh. Klo dari SD dibiasakan baca, niscaya dampaknya besar, sklipun ortu di rumah sngat awam dg buku. Pada gilirannya, di masa depan akan lahir generasi2 yg gmar mbaca.

        Disukai oleh 1 orang

          1. Oo … pnjang mungkin krn mesti ngulas 6 ngara jg kali ya, hehe…

            Semoga tidak bosan bacanya ya mas, soalnya bgtulah gaya desfortin, maunya skali dayung dua tiga pulau terlampau, tapi nyatanya ga bisa2 juga kayaknya…😂😂😂

            Disukai oleh 1 orang

    3. Akur dengan pendapat-pendapat rekan-rekan sebelumnya.
      Sebagai tambahan, memang budaya baca di luar negeri sudah dipupuk sejak kecil. Di sekolah selalu ada saja tugas mereview buku dan karya sastra.
      Saat jaman saya sekolah SD dan SMP dulu memang ada tugas review buku dari guru B.Indonesia. Bahkan kadang2 menjadi soal ujian essai. Hanya saja sejak SMA hal itu tidak ada lagi. Hal mungkin ini karena beberapa cuplikan buku karya sastra sudah dikutip di buku pelajaran dan LKS bahasa. Dan yang dibahas dan diujikan hanya cuplikan/bagian itu saja. Akibatnya kita hanya membaca buku pelajaran saja. Hanya sedikit siswa yang nyari buku aslinya di perpustakaan sekolah, dan biasanya tidak ada atau sudah rusak.

      Soal buku yang berkualitas, sebenarnya kita banyak memiliki penulis handal. Meski harga buku masih dirasa mahal. Tapi pilih mana, membeli buku atau membeli paket internet 50ribu? 🙂

      menunggu mas desfortin menulis buku lagi

      Suka

      1. Saya kurang tahu, utk pljaran bhs. Indonesia, apakah novel atau karya2 sastra yg wajib dibaca apa masih ada di kurikulum. Padahal itu pnting, sehingga anak ada buku sastra/novel yg minimal mereka hrs baca.

        Budaya layar sprti gadget, ga masalah (sklipun hrs bali pulsa dg harga sgtu), asal fitur literasinya dimanfaatkan dg baik.

        Soal penulis handal, ok, tp menurutku jumlahnya tidak seberapa. Jumlah buku yg diterbitkan pertahun pun masih jauh dibandingkan dg ngara maju.

        Saya harga mahal ga masalah, asal konten nya oke.

        Suka

    4. Pernah ke perpustakaan Singapore, bukunya lengkap banget, untuk minjemnya cukup ngasih lihat ID card dan semua pakai mesin. Praktis. Selain itu terletak di gedung mall jadi mudah dijangkau.

      Kalau di sini perpustakaannya sedikit dan biasanya terletak di kampus atau sekolah. Sekarang sih di beberapa cafe ada yang meminjamkan buku jadi enak bisa baca di sana, cuma jarang banget. Toko buku sendiri sekarang banyak yang pada tutup. Sedih sih, minat membaca kita memang rendah karena memang gak dibiasakan.

      Disukai oleh 1 orang

      1. Belum pernah mampir. Tapi disana emang udah maju. Kita emang masih tertinggal.

        Ya…beginilah negara kita. Tapi kita harus tetap optimis, semoga di masa mendatang kita bisa lebih baik.

        Suka

    5. hai kak desfortin saya suka dengan tulisan kakak

      Tulisan ini sangat menginspirasi saya untuk lebih giat lagi memabaca. saya sedih karena negara kita bukanlah negara terajin membaca buku namun semangat dari sebagian kaum muda yang sadar bahwa minat membaca itu sangatlah penting dan semangatnya dalam mengapresiasikan kepada masyarakat bahwa buku sebagai pedoman memperluas wawasan masyarakat sekalian. semoga minat membaca anak2 dan kaum terpelajar sekolah tak pernah padam. kalo boleh saya minta saran dari kakak, gimana saran yang bagus agar kaumpelajar seperti saya ini lebih tertarik dengan membaca buku, melihat kondisi sekarang dimana anak anak muda lebih senang menghabiskan waktunya dengan menonton dan keasyikan bermain social media.
      terima kasih kakak salam dan salam kenal.

      Disukai oleh 1 orang

      1. Hai Andi Rafika Yusuf, salam kenal juga. Terima kasih krn telah membaca. Senang jika ada yang suka pada tulisan ini dan merasa bermanfaat.

        Saya hanya berusaha. Memang tdk mudah untuk menumbuhkan minat baca, apalagi di tengah zaman seperti sekarang, semua pihak memang harus bergandengan tangan. Tp yg psti kita tak boleh putus asa, terus berjuang.

        Sy tdk punya jurus atau saran pamungkas. Tp yg pasti, kita hrus mulai melangkah untuk mengerti ttp manfaat membaca, dan itu dimulai dari diri kita sendiri, llu lingkungan sekitar. Literasi Sekolah yg sdah diprogramkan pemerintah itu pnting dan hrus didukung.
        Dan sy kira, kita gak mesti baca buku2 yg berat dulu, mulailah dari buku2 fiksi, itu sy anggap sbgai stimulator.
        Juga klau ada hape, gunakanlah utk membaca llu buatlah blog pribadi atau bergabung dg komunitas bloger, dg demikian smoga minat baca kita semakin baik.

        Suka

    6. Makasih mas info nya. Saya baru tahu bahwa dari 61 negara yang dijadikan bahan penelitian, ternyata Indonesia yg ke 60, ironis memang. Karena benar, lingkungan sekitar juga sangat mendukung. Saya hidup dilingkungan yang masyarakatnya kurang minat terhadap membaca, jadi saya juga terkadang terbawa arus, ikutan gak membaca, tapi pas sadar baru membaca. Karena bener seperti yang mas bilang. Membaca itu butuh kesadaran selain diawali dengan tradisi.

      Disukai oleh 1 orang

    7. Reblogged this on ratihestuu and commented:

      Indonesia harus banyak berbenah. Alangkah indahnya jika diawali dari aku, kamu, dan kita. Selanjutnya? Ajak juga mereka:) budaya membaca itu penting, terutama agar kita bisa menjadi masyarakat yang lebih pandai dan tidak mudah terpecah belah:)

      Disukai oleh 1 orang

    8. dari dulu minat baca di negara ini memang rendah ya. tidak hanya pada buku, jaman internet sekarang pun, sebagian besar orang lebih tertarik konten video di youtube dan foto di instagram daripada membaca tulisan dan artikel di media online, wiki, forum, blog, dan lain-lain.

      Suka

    9. Awalilah budaya membaca berawal dari diri sendiri.jika diri kita sudah hobi membaca dengan sendirinya maka orang sekitar kita akan menirunya dengan otomatis.sekian dari opini saya

      Disukai oleh 1 orang

    Tinggalkan komentar