Sebuah Opini Tentang Hate Speech di Abad 21

Ujaran Kebencian (hate speech) di abad 21

Sumber Gambar: cnnindonesia.com

Era digital: “tiada hari tanpa gadget”saat ini sangat luar biasa. Semua terlihat canggih. Dengan gawai (gadget) yang terhubung dengan internet maka semuanya tampak begitu mudah dan cepat. Begitupun penyampaian pesan/informasi. Tinggal satu-dua klik saja, apapun bisa tersampaikan, entah itu untuk hal yang positif maupun hal yang negatif.

Kemajuan teknologi yang begitu pesat di abad 21 ini telah membawa manusia ke fase kebebasan, kebebasan berekspresi atau kebebasan menyampaikan pendapat atau kebebasan-kebebasan lainnya, yang kadang, menurut saya, cenderung sulit untuk dikendalikan.

Hal yang ironis memang, kemajuan teknologi ini mestinya dibarengi dengan kemajuan moral dan etika. Namun sayangnya, itu tidak berjalan secara linear. Sebagian orang memanfaatkan teknologi cenderung untuk menyebar hal-hal yang remeh, hoax bahkan provokasi (adu domba), khususnya terhadap pihak yang berbeda pendapat atau berbeda haluan (ideologi).

Padahal, di negara demokrasi perbedaan pendapat atau keyakinan itu adalah hal yang biasa. Perbedaan mestinya dimaknai secara positif untuk membangun khasanah bangsa. Dan itu harus dilakukan dengan dasar rasa saling percaya dan saling menghormati. Jika perbedaan dipandang sebagai hal yang negatif, maka itu menjadi pemicu tumbuhkembangnya semangat intoleransi, bahkan kebencian.

Belakangan ini, hate speech (ujaran kebencian) begitu marak, khususnya di dunia maya (internet). Orang yang sentimen dengan orang lainnya atau kelompok lainnya dengan begitu mudahnya dapat melontarkan kata-kata atau ujaran yang tidak membangun nilai-nilai persatuan dan perdamaian, hanya karena berbeda pendapat atau berbeda haluan (ideologi). Atau karena berita yang belum tentu kebenarannya (berita hoax).

Itulah sebabnya POLRI, pada 2015 lalu, kemudian mengeluarkan Surat Edaran Nomor : SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran kebencian (Hate Speech). Karena dianggap bahwa isu ini dapat mengancam atau merongrong keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam upaya mencegah/menangani isu ini pula, khususnya dengan arus kehidupan di dunia maya, sebenarnya sudah ada Undang-Undang ITE Nomor: 19 Tahun 2016 (Revisi Terbaru) yang mengatur tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Namun, untuk mempertegas aturan yang sudah ada tersebut (KUHP, UU ITE, dll), maka terbitlah SE (Surat Edaran) ini agar penanganannya bisa berjalan lebih proporsional. Dan SE ini lebih mengedepankan upaya pencegahan ketimbang proses hukum.

Apa Itu Ujaran Kebencian?

Menurut Wikipedia berbahasa Indonesia, ujaran kebencian adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu, atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain.

Dan menurut Surat Edaran POLRI tersebut, ujaran kebencian (hate speech) bisa berupa tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan ketentuan lainnya di luar KUHP, antara lain:

  1. Penghinaan
  2. Pencemaran nama baik
  3. Penistaan
  4. Perbuatan tidak menyenangkan
  5. Memprovokasi
  6. Menghasut
  7. Menyebarkan berita bohong

Tujuh poin di atas dapat dilakukan melaui berbagai media, antara lain:

  1. Dalam orasi kegiatan kampanye
  2. Spanduk atau banner
  3. Jejaring media sosial
  4. Penyampaian pendapat di muka umun (demonstrasi)
  5. Ceramah keagamaan
  6. Media masa cetak atau elektronik
  7. Pamflet

    SE ini cukup disambut positif oleh banyak pihak dan dianggap sebagai langkah maju POLRI yang patut diapresiasi. Namun ada pula yang menilai bahwa SE ini menghambat kebebasan berekspresi. Kemudian juga kontennya masih terlalu umum, tidak menjelaskan secara spesifik tentang batasan ujaran kebencian yang dilarang.

    Terlepas dari pro dan kontra tersebut, saya kira itikad baik POLRI harus kita dukung dan apresiasi. Terkait penilaian itu, mungkin uraian Buku Saku Panduan Penanganan Ujaran Kebencian yang disusun oleh Komnas HAM ini dapat membantu menjelaskannya.

    Ujaran di dunia Maya Vs Ujaran di Dunia Nyata

    Di era dunia maya ini orang-orang di dunia nyata setiap hari menunduk, baik saat daring (online) maupun luring (offline). Mereka sibuk berurusan dengan gawai masing-masing sambil menunduk. Itulah sebabnya dikatakan bahwa dunia sekarang ini disebut juga sebagai dunia yang menunduk.

    Dan sebagian orang (para netizen) menganggap bahwa berujar di dunia maya itu lebih leluasa ketimbang di dunia nyata. Padahal, prinsipnya sama saja. Anda memuji atau mengapresiasi orang di dunia maya sama saja halnya bila Anda memuji atau mengapresiasi orang secara berhadapan langsung di dunia nyata.

    Demikian pula bila di dunia nyata Anda memaki atau melecehkan seseorang, Anda bisa dilaporkan, pun bila Anda berkata-kata atau berujar dengan unsur pelecehan apalagi kebencian di dunia maya, Anda juga bisa dilaporkan. Jadi sebenarnya, secara prinsip tidak ada bedanya. Bedanya adalah hanya pada medianya.

    Bahaya Ujaran Kebencian

    Sebenarnya bukan tanpa sebab orang menebar kebencian. Ada banyak pemicunya, selain masalah perbedaan pendapat (ideologi). Bisa karena ketidakadilan atau kesenjangan sosial-ekonomi, penegakan hukum yang tidak sesuai harapan, minimnya pemahaman netizen tentang literasi digital, dan mungkin masih banyak lagi penyebab lainnya.

    Bahkan, menurut seorang psikolog Klinik Terpadu Universitas Indonesia, Bona Sardo Hutahean, sebagaimana dilansir oleh cnnindonesia.com, bahwa orang yang suka menyebar kebencian akibat kurang bahagia atau kurang kasih sayang. Benarkah? Mungkin perlu penelitian/data yang lebih valid lagi.

    Namun demikian, karena kita hidup di negara hukum, dimana setiap orang dilindungi oleh hukum, maka alasan apapun tidak bisa dijadikan pembenaran. Setiap perbuatan mesti ada konsekuensinya.

    Memang, ujaran kebencian itu (mungkin) membuat “puas” orang yang melakukannya atau melontarkannya, tetapi itu berbahaya, karena:

    1. Merendahkan manusia lainnya
    2. Menimbulkan kerugian material dan korban manusia
    3. Bisa berdampak pada konflik
    4. Bisa berdampak pada pemusnahan kelompok (genosida)
    5. Bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika

    Isu Primordial, Agama dan Radikalisme

    Sangat disayangkan bahwa isu primordial dan agama masih dijadikan tameng untuk “menghancurkan” pihak yang berbeda haluan atau keyakinan (ideologi), khususnya yang berkaitan dengan isu politik belakangan ini. Dengan cara-cara yang tidak etis orang menyebar fitnah/hasutan, berita bohong (hoax) dan provokatif demi tujuan tertentu.

    Begitupun isu radikalisme yang telah merambat ke Indonesia. Ada sebagian orang/kelompok tertentu yang memiliki paham radikal-fundamentalis. Pokoknya orang yang berbeda paham, maka harus dibasmi/dihabisi. Isu radikalisme yang memicu tindak kekerasan dan rasa kebencian atau ketidaksukaan, harus ditangani secara serius.

    Sekedar Saran

    Untuk terhindar dari hate speech, yang paling utama itu adalah itikad baik dalam bergaul, bukan untuk mencari musuh. Begitu pula saat bergaul di media sosial, gunakan itu untuk menyebar kebaikan dan saling berbagi untuk hal yang positif dan membangun.

    Dan bila Anda termasuk orang yang sangat emosional-temperamental, sebaiknya hindari perdebatan atau diskusi yang tidak perlu. Nasehat yang mengatakan bahwa hati boleh panas tapi kepala harus tetap dingin saat adu argumentasi dalam suatu debat/diskusi mungkin baik, tetapi bila emosi (amarah) Anda mudah terpancing dan sulit dikendalikan, sebaiknya tidak ikutan. Sebab, saat amarah tiba, lidah berbicara (seolah) lebih cepat daripada pikiran/logika.

    Lalu, karena berita bohong atau hoax termasuk dalam bagian hate speech, maka berhati-hatilah saat berinternet atau bermedsos ria, sebab yang ikutan menyebarkan hoax saja bisa dituntut, apalagi yang jelas-jelas memang bertindak sebagai pelaku atau penyebarnya.

    Itulah sebabnya, saya pernah menghimbau teman-teman di medsos agar jangan mudah termakan isu artikel atau berita hoax di internet, lalu ikut memviralkannya. Sebaiknya teliti dulu sebelun dibagikan ke publik.

    Dan saya sendiri, setiap kali harus membagikan artikel di media sosial, saya selalu menyertakan sumbernya. Ini untuk membiasakan diri saja agar tidak dituduh tukang plagiat (plagiator).

    Terakhir

    Ujaran kebencian jelas membawa dampak negatif. Jika kita ingin menjadi bangsa yang maju, dan tidak ingin tercerai berai, maka kita harus menjaga lidah dan etika dalam pergaulan, baik saat di dunia maya maupun di dunia nyata.

    Selain itu, karena ujaran kebencian mengandung semangat disintegrasi, maka harus kita atasi bersama. Surat Edaran POLRI dan UU ITE dan aturan-aturan lain yang terkait, harus kita camkan bersama jika tidak ingin tersangkut kasus hukum (masuk bui + dendanya).

    Nah, jika ujaran kebencian jelas-jelas tidak membawa manfaat, mengapa tidak meninggalkannya? Mari bangun bangsa dengan sikap positif. Jadikan perbedaan untuk merajut harmoni agar kita menjadi bangsa yang beradab dan bermartabat; bangsa yang maju.

    Catatan : Gunakan media sosial secara hati-hati dan proporsional untuk menebar kebaikan dan kedamaian.

    Ingat, mulutmu harimaumu. Itu dulu. Sekarang, jari (jempolmu) harimaumu.

    Salam Cerdas,

    Desfortin

    14 respons untuk ‘Sebuah Opini Tentang Hate Speech di Abad 21

    1. Setuju mas Desfortin, sekarang ini selain pepatah “mulutmu harimaumu” mesti ditambah “jempolmu harimaumu”
      Sejak era reformasi masyarakat begitu bebasnya menyampaikan pendapat, kemudian diikuti perkembangan teknologi yang begitu pesat, maka pemyampaian pendapat itu semakin sebebas-bebasnya.Jika mengikuti berita di media masa maupun media sosial, saya sering sekali bingung sebenarnya yang benar itu yang mana, masing-masing ada argumennya. Akhirnya sekarang saya lebih baik sering buka blog daripada nonton berita dan bermedsos ria.

      Suka

      1. Yg psti hate speech bukan kbbasan berpendapat atau kbbsan berekspresi. Di dlm kebebasanpun tdk ada kbbasan yg mutlak. Bebas tnpa diikat oleh prinsip kbenaran mka jadinya kebebasan yg bablas.

        Memang untuk media berita, ada media yg sifatnya otoritatif ada jg yg biasa aja nurut saya. Kita memang hrus jeli, jngan ditelan mentah2…prinsipnya blog artikel pun sama saya rasa, kita ttp hrus mencrnanya, trmasuk blog sya inipun, Anda bisa mengkritisinya jika ada yg keliru, saya gak mslah, tp tentu dg argumen yg brdasar juga, meskipun blog sya ini msih sifatnya opini pribadi.

        Bgtu…mbak Nur. Tks

        Disukai oleh 1 orang

    2. Sekarang media memang suka menulis berita2 yg memancing perdebatan. Lihat saja judulnya yg serba bombastis.

      Juga mayoritas pengguna internet di indonesia itu rendah sekali intelektualnya. Dipikirnya bebas berpendapat apapun. Lihat saja di sosial media yg banyak hate speechnya. Mungkin benar yg mengatakan bahwa kualitas SDM indonesia itu buruk dibanding negara2 lain.

      Disukai oleh 1 orang

      1. Ironisnya jumlah netizen mkin hri mkin nambah ya, tp syang gak dibarengi dg pengetahuan yg memadai ttg literasi digital, tp ada jg yg emang sedari awal niatnya buat kriminil, kepintarannya justru digunain utk bkin ujaran2 yg kurang mendidik dan hoax.

        Disukai oleh 1 orang

    3. banyak berita yg nga sesuai judulnya.. banyak komentar asal nulis juga haha. kanyaknya polisi internet harus lebih cangih lagi. atau enaknya ada situs untuk pelaporan berita hoax dan komentar atau tulisan yg mengandung unsur yg d larang. kayak facebook itu gue sering bener ngelaporin foto yg gak seharusnya d publish buat umum.. enaknya respon fb cepat jd kalau memang nga sesuai aturan ketika di tinjau maka akan d hapus ole fb.

      Suka

      1. Kreatif jg ide Anda: situs plaporan brita hoax. Blm ada ya mas?

        Tp jngn slah, polisi internet pun trus bkerja. Nge-tract teroris sja bisa, aplgi cuma nge-tract situs hoax, ya gak seh?

        Suka

          1. Sy dngar ad yg udah diblokir, tp ada jg yg sngja dibiarin dulu, mungkin ada mksud trtentu dari pihak kpolisian, bila smpe waktunya mka akan lngsung dieksekusi shingga tidak bisa menyangkal lg

            Disukai oleh 1 orang

    4. Setuju sama kak des. Semakin kesini kalau didi pantau menurut kacamata didi pribadi semakin banyak saja hate speech yang bermunculan di dunia maya. Ini tidak hanya didi temukan pada situs-situs Indonesia namun juga situs-situs diluar negeri. Di sini selama kurang lebih 2 tahun didi tinggalpun masih sering didi baca baik didunia maya (internet) ataupun media cetak yang menyebarkan hate speech. Padahal seharusnya sebagai lini masa mereka memberikan masukan yang positif dan tidak berpihak pada satu dan lain hal. Tapi sebetulnya hate speech ini merupakan barang lama yang memang sudah ada sebelum adanya dunia maya dan nampaknya fenomena ini kalau boleh jujur tidak hanya didi temukan di Indonesia sepertinya merata ke seluruh penjuru. hihihi #ngomongopooiki 🙂 Salut dengan para polisi internet yang luar biasa di Indonesia.

      Suka

    5. Itulah sebabnya Polri merilis SE tsb, mengingat hate speech di dumay ini rumit jg nanganinya, mkanya prlu ada regulasi spy proporsional dlm pnanganannya.

      Hate speech umumnya mmang di dunia, tp di Indonesia jg ga klah maraknya, intelektual kita ktika berinternet pun masih rendah, mkanya perlu ada pend. Literasi digital kyaknya yg lbih intens.

      Ok Didi, tks buat komennya. Slmt ngeblog ya. Ttp sbarkan kbaikan dlm kgiatan bloggingnya ya..

      Suka

    6. salah satu caranya adalah jarang online di facebook wkwkwk, ya itu memang sekedar salah satu cara untuk menghindari debat yang tak berujung. ini pendapatku saja lho, karena di media manapun, jika berteman dengan orang yang suka menebar kebencian ya sama saja…

      Suka

    7. Aku juga suka heran, di Instagram itu banyak banget yang mulutnya lemes dan ternyata masih remaja gitu. Entah mereka belajar dari mana dalam memberikan komentar jelek. Apalagi ternyata yang suka komentar jelek itu orang-orang yang memakai atribut agama. Kan jadi ikut bikin jelek agama itu. 😦

      Suka

    Tinggalkan komentar