Curhatan Sayu Tentang Paman

Laki-laki sedih di depan pusara pamannya

Sumber Gambar : theworkprint.com

Hari ini aku kembali duduk dengan smartphone di tanganku. Aku ingin menuliskannya. Berharap agar rasa menyesal ini bisa sedikit terobati. Bukan untuk menghindar. Tapi setidaknya, inilah perasaanku yang sejujurnya.

Apa yang ingin kutulis? Bukan tentang tips menulis apalagi cerita fiksi. Tapi aku ingin menulis tentang pamanku. A true story.

Ya, saat ini aku teringat pada sosok pamanku. Ia adalah kakak kandung dari ibuku. Anak ketiga dari 4 bersaudara. Ibuku adalah anak keempat (bungsu). Dua saudara mereka lainnya telah tiada.

Yang kuingat tentang pamanku itu sebenarnya tidak banyak. Namun, aku ingin menceritakan alasan dari rasa menyesalku ini tentang dia. Mungkin setelah kuceritakan, sedikit akan mengurangi rasa ini. Rasa yang begitu sayu yang kualami.

Pamanku itu adalah sosok yang baik. Mudah bersahabat, cukup gaul, namun agak cerewet. Umurnya sekitar 49 tahun. Ia pernah menjabat Ketua RT dan Pjs Kades di kampungku.

Ia termasuk orang yang dituakan dan dihormati di kampungku. Tapi, tak bermaksud mencelanya, bagi sebagian orang mungkin ia termasuk pribadi yang cerewet, karena tingkah lagaknya yang kadang terkesan pamer dan suka menggurui. Apalagi kalau ia bicara, suaranya pun cukup nyaring.

Tapi bagiku, aku cukup memahami sikap dan kebiasaannya itu. Dan melaluinya aku diajarkan tentang apa itu sabar saat berhadapan dengan orang yang cerewet.

Aku tak suka mempercakapkan kelemahannya. Dalam tiap diskusi dengannya, aku selalu berusaha untuk mendengarkannya, jarang mendebat pendapatnya. Aku hanya memberikan masukan-masukan seperlunya. Dan sesekali memujinya.

Pamanku itu memang selalu punya ide untuk diceritakan, dan aku selalu mendengarkannya. Itu sebabnya, ia merasa nyaman saat berdiskusi denganku. Ini bukan klaim sepihak, tapi ia sendiri pernah mengungkapkannya secara langsung di hadapanku.

Lalu, apa yang salah? Apa yang membuat hatiku sayu kala aku teringat akan dia? Bukankah tidak ada masalah antara aku dan pamanku itu?

Memang. Itu betul. Tak ada masalah diantara kami. Akupun anggap bahwa hubungan kami baik-baik saja sampai saat terakhir kali kami bertemu.

Yang ingin kubagi saat ini adalah terkait posisiku yang saat ini tinggal jauh dari kampung halamanku; tempat paman dan keluarganya tinggal tetap.

Aku tentu jarang bisa bertemu dan berbagi dengan pamanku itu lagi semenjak aku pergi meninggalkan kampung halamanku; tempat aku dilahirkan dan dibesarkan.

Karena saat ini aku sudah pindah dan berdomisili di kampung istriku. Kampung yang juga tempat aku bekerja untuk menghidupi keluargaku. Aku bekerja sebagai guru disini sudah lebih dari 6 tahun.

Sebenarnya, bukan itu yang membuat hatiku begitu sayu dan menyesal, melainkan karena sikapku yang seolah tak menjaga silaturrahmi. Aku merasa bersalah.

Maksudku adalah, aku jarang ketemu dengan dia lagi, bahkan untuk sekedar menelpon pun sangat jarang, meski dengan alasan sinyal ponsel yang sulit disini.

Dan yang sangat menyedihkan lagi, kini aku tak mungkin bisa ketemu dia lagi. Bahkan untuk selamanya.

Sebab, beberapa waktu lalu, pamanku itu telah berpulang untuk selama-lamanya ke pangkuan Sang Pencipta setelah mengidap penyakit tertentu. Sempat diobati di RS, tapi akhirnya tak tertolong.

Kini, pamanku itu sudah pergi dari dunia yang fana ini, masuk ke dalam keabadian. Tempat dimana semua insan akan kembali.

Sejujurnya, aku selalu takut bila orang-orang yang kusayangi meninggal dunia. Walau kematian adalah sesuatu yang alamiah terjadi, tapi aku tak pernah terbiasa dengan kematian. Bagiku kematian masih tetap menjadi misteri setelah kehidupan.

Yang juga menyesakkan hatiku terkait pamanku itu adalah, karena di saat kepergian dan pemakamannya, aku tidak bisa datang untuk melihatnya terakhir kali. Penyebabnya, karena aku terlambat menerima berita duka tentang kepergiannya itu.

Saat itu, sinyal wifi di tempatku menetap ini, mengalami gangguan serius, sehingga aku tak dapat terhubung secara online, baik dengan teman-temanku yang lain, apalagi dengan keluarga di kampung kelahiranku itu.

Aku baru tahu sehari kemudian, tepat di hari pemakamannya. Paginya aku menerima pesan dari adikku disana melalui WhatsApp. Suatu kebetulan karena pagi itu koneksi wifi sedikit membaik. Sesekali pesan di inbox medsosku masih bisa diterima. Tapi saat kutanya kepada adikku itu tentang kapan waktu pemakaman, jawabanpun lama sekali kuterima.

Dan yang paling membuatku menyesal adalah, meski aku tahu dan mungkin masih bisa mengejarnya, tapi aku tetap tidak bisa berangkat juga. Hujan deras pada hari itu melanda wilayah tempat tinggalku dari dini hari hingga siang, sehingga aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Memang saat hujan datang keadaan jalanan di wilayahku tinggal ini rusak parah. Sehingga kalau dipaksa untuk ditembuspun, butuh waktu yang lama dan perjuangan berat. Jadi, aku berusaha menanti hujan reda, tapi sayangnya, hujan hari itu tidak berhenti-henti hingga tengah hari.

Sekitar jam 12 lewat, aku mendapat kabar via WhatsApp bahwa jenazah pamanku itu baru saja selesai dikebumikan. Oh my God. Semuanya sudah terlambat. Mengejarnyapun sia-sia saja. Aku tak mungkin lagi melihatnya untuk selamanya.

Itulah yang membuatku merasa sayu dan menyesal jika aku teringat dengan pamanku yang sudah almarhum itu.

Maafkan aku paman. Damailah kiranya engkau disana. Semoga amal dan kebaikan menyertaimu. Petuah-petuahmu di masa hidup akan tetap kukenang.

Salam,

Desfortin

21 respons untuk ‘Curhatan Sayu Tentang Paman

  1. Ikut prihatin mas desfortin, saya tahu persis bagaimana rasanya ditinggal orang yang kita sayangi, apalagi tidak sempat melihat jenazahnya ya.
    Tapi tak perlu menyesal berkelanjutan, apalagi kondisinya memang tidak memungkinkan seperti yang mas ceritakan

    Disukai oleh 1 orang

    1. Ya mbak. Mksih buat msukannya. Jujur smpe saat ini msih kebyang aja gtu. Sy jg ga mrasa enak dg tante dan sepupu2 ku, blum smpt ktmu dg mreka jg. Akun medsos mrka sy jg gk punya..

      Disukai oleh 1 orang

  2. Baca ini saya jadi keinget nenek. Kondisinya hampir mirip dengan apa yang mas alami. Pas beliau meninggal saya sedang di sekolah dan nggak bawa hp. Alhasil saya tidak dapat kabar dan tidak menghadiri pemakamannya.

    Kejadiannya sudah 6 tahun yang lalu tapi sampai sekarang saya masih sedih kalau ingat peristiwa itu.

    Suka

  3. Tidak perlu menyesali hal-hal yang diluar kendali kita mas destorfin seperti hujan dan sinyal. Mungkin dengan mengunjungi makam pamannya dan mengatakan hal-hal yg perlu dikatakan dapat mengurangi beban.

    Suka

  4. Kita memang sringnya berbuat salah/tidak tepat, baik sengaja maupun tidak (karena ada hal di luar kendali kita) terpenting mau mengambil hikmahnya. apapun yg terjdi pada kita itu adl yg terbaik bagi kita meski kita mungkin berbuat salah dan dosa, hanya langkah/perbuatan kita selanjutnyalah yg menentukan, apakah salah tadi berbuah dosa atau pahala. Mudahn2 bisa memahami ya kata2 yg agak sulit ini. Soalnya kl dijabarkan sangat panjang…

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar